Assalamu'alaikum sahabat,
Kali ini saya akan membagikan cerpen yang saya tulis ketika masih Maba alias Mahasiswa Baru gitu, hehe. Cerpen ini saya tulis dan dikirimkan untuk mengikuti Lomba Menulis Cerpen Peserta Asistensi 2015. Tidak mendapat penghargaan tertentu (namanya juga baru belajar menulis yaa, hehe), tapi cukup membuat diri menghargai dan mensyukuri tiap nikmat dan hidayah yang selalu Allah berikan dalam hidup ini.
Dear Asyifa Qalbu yang dicintai karena Allah, cerpen ini ditulis karena butir-butir rindu yang tak tersampaikan waktu itu kepada kalian. Cek gu Supriyanti, Novi Harianti cantik, Isnani Reffila Dewi comel, Ustadzah Nova Utafa Mofida, Endah Wulandari yang ayu, si lucu Artina Rukmana, sholihah Aras Larasati, dan kakak tersayang Zuraida Yuharsi, terimakasih sudah menjadi bagian dalam perjuangan menjemput hidayah ini. Sahabat till jannah, meski raga tak bersua, tapi do'a cukup tuk mengikat hati-hatinya. See you on the top !
Menjemput
Hidayah
Kicau alarm
mengusik indra pendengaranku dini hari itu. Dalam sekali gerakan, jam beker
Angry Bird hadiah dari seorang sahabat itupun berhasil ku bungkam. Meski terasa
berat, tetap kupaksa menampilkan sepasang bola mata coklat yang sedari tadi
bersembunyi dibalik kelopaknya ini. Jemariku mulai meraba tepian jendela tepat
disisi kiri tempat tidur, memperluas jalan bagi udara segar untuk lebih leluasa
masuk menggantikan udara kamar yang sudah terasa pengap.
Pandanganku
mengarah pada jam beker yang kini hanya menghasilkan bunyi tik-tok-tik-tok itu.
Masih jam 3 pagi ternyata. Barangkali aku salah menyetel alarm. Setelah
berhasil mengumpulkan kesadaran sepenuhnya, langkah kaki membawaku berdiri
didepan cermin seperti kebiasaanku selama ini. Disana memantul bayangan seorang
gadis dengan penampilan acak-acakan dan mata yang bengkak.
Ya, kuakui aku
memang menghabiskan malam itu bersama air mata. Aku sendiri tak yakin kapan
persisnya aku mulai menangis. Tapi hal terakhir yang bisa kuingat adalah saat
aku jatuh tertidur, kristal bening itu masih setia menemaniku. Bukan, aku bukan
gadis cengeng yang sedang dilanda ‘Gegana’ akibat putus cinta. Aku menangis karena hari ini adalah hari
dimana Acara Perpisahan Siswa/i Kelas XII di sekolahku akan diselenggarakan.
Bagiku, hari ini adalah salah satu hari yang
mungkin kalau bisa, tak ingin kujumpai. Rasanya begitu berat untuk membayangkan
akan berpisah dengan sahabat-sahabat seperjuangan yang telah membantuku
menjemput hidayah ini. Nah, membayangkannya saja sudah membuat pipiku kembali
basah. Akhirnya kuputuskan untuk mandi dan bersiap melaksanakan Qiyamul Lail
sembari menanti waktu Shubuh.
***********************************************************
Suasana sudah
ramai ketika aku menginjakkan kaki diarea sekolah. Bunyi musik pengiring hampir
saja membuatku tak bisa mendengar suara teman-teman yang menyapa. Barangkali
jika aku tidak mengedarkan pandangan, maka aku tak akan menyadari keberadaan
senyuman hangat nan bersahabat yang kuasumsikan sebagai sapaan itu. Didalam
hati aku bertanya-tanya apa mengapa mereka bisa tersenyum sehangat itu
sementara sebentar lagi akan berpisah ? Entahlah, kurasa mereka pasti punya
jawabannya sendiri, meski aku tetap takkan bisa memahaminya.
“Ini dia princess
kita baru datang. Tumben seorang Fatma datang telat.” suara Nita membuyarkan
lamunanku. Ternyata ia dan beberapa sahabat telah berdiri tepat dibelakangku.
“Biasa.
Princesskan perlu dandan dulu. Hehe.” jawabku seceria mungkin. Diantara mereka,
memang akulah yang paling ribet dalam hal pakaian maupun berjilbab. Pokoknya
setiap detail yang kugunakan harus selalu mendekati perfect. Meski tentunya
tidak berlebihan dan bertentangan dengan ajaran Agama.
“Iya deh iya.
Duduk dulu yuk. Ntar gak kebagian kursi lagi. Emang antum-antum semua mau
berdiri sepanjang acara apa ?” giliran Zahra angkat bicara. Kalau sudah begini,
kami selalu kompak menjawab “Na’am ustadzah”. Zahra adalah satu-satunya siswi
pesantren diantara kami, jadi kami acap kali menambahkan embel-embel ustadzah
jika berbicara padanya. Dia sendiri tidak keberatan akan hal itu. “Yang penting kalian senang. Toh Ustadzah
itu kan panggilan yang baik. Siapa tau jadi do’a supaya kelak aku bisa jadi
ustadzah beneran” jawabnya suatu hari.
Saat kami
menempati jejeran kursi kosong, MC mengumumkan bahwa acara akan segera dimulai.
Semua siswapun menjadi sibuk dan bersegera menempati tempat duduk yang
disediakan. Suasana menjadi hening, yang terdengar hanyalah suara MC yang
memandu acara. Keheningan ini memancingku untuk kembali merenungi kebersamaan
kami selama SMA ini.
Aku masih ingat
ketika pertama berkenalan dengan sahabat-sahabatku itu. Saat itu kami sedang
mengikuti acara Keputrian yang diadakan Rohis sekolah. Siswi-siswi yang hadir
dibagi menjadi beberapa kelompok dan segera membentuk halaqah dengan bimbingan
seorang Murabbi di tiap halaqah. Disanalah aku mulai belajar tentang
kepribadian Muslimah sejatinya.
Selain
dimentoring, secara tidak langsung ukhuwah juga terjalin diantara kami. Saat
seorang sahabat menghadapi masalah, kami berupaya sebisa mungkin untuk saling
membantu menyelesaikannya. Dalam perjalanan menjemput hidayah-Nya ini, tawa dan
air mata telah menyatukan kami dalam persaudaraan yang kami beri nama Asyifa
Qalbu.
Tak bisa
kubayangkan, bagaimana jadinya aku jika dulu aku mengikuti nafsu untuk menolak
tawaran mentoring ini. Barangkali aku akan terjebak dalam fatamorgana dunia
remaja dan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga. Bersama mereka, aku
belajar untuk lebih memahami nilai-nilai Agama dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan. Aku masih ingat saat kami berlomba menempati shaf perempuan yang
paling depan saat shalat Zhuhur berjama’ah di Mushola sekolah.
“Kalau yang menempati shaf pertama, ibaratnya dapat
Unta. Shaf kedua Kerbau, dan shaf ketiga Kambing. Nah kalian mau dapat yang
mana di Syurga nanti ?” ujar Zahra ketika kami selesai berwudhu’. Tanpa
menjawabnya, kami langsung bergegas menuju Musholla dan rebutan siapa yang bisa
menempati shaf pertama.
“Yeyy, aku dapat Unta. Kamu cuma dapat Kerbau. Kasihan..” ujarku sambil memeletkan
lidah kearah Zahra. Ya, dia memang tak kebagian shaf pertama karena kami telah
lebih dulu berbondong mengisinya setelah mendengar ceramah singkatnya itu.
Jika mengingat
kejadian itu, aku selalu tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Rasanya
konyol sekali saat kami bertindak kekanakan seperti itu. Tapi ibrahnya, kami
jadi lebih terpacu untuk bersegera ke Musholla untuk sholat berjama’ah begitu
azan dikumandangkan.
“Kalau orang
ketawa sendiri, bisa disangkain..”
“Sembarangan
ngomong !” tukasku tak membiarkan Nita melanjutkan kalimatnya.
“Habiis.. Kamu
tuh sejak tadi senyam senyum sendiri.
Bagi-bagi kenapa ?”
“Enggak kok. Aku
cuma ingat masa-masa kita disekolah ini. Gak terasa bentar lagi kita udah bakal
mencar kemana-mana.”
“Emangnya kita
apaan pake mencar segala.” celetuk Risma
“Ihhh, pokoknya
ya gitu deh. Bakalan pisah gitu lho maksudnya.”
“Fatma, walaupun
kita akan terpisah oleh jarak dan waktu. InsyaAllah, kita akan tetap satu. Yang
penting hati kita tetap terkoneksi lewat do’a-do’a. Makanya jangan lupa untuk
saling mendoakan. Oke ?”
“Iya bu Zahra.”
ucapku. Aku tak jadi melanjutkan pembicaraan karena lantunan Nasyid mulai
disenandungkan oleh Munsyid sekolah kami. Bait-bait ‘Senandung Ukhuwah’ milik Sigma
ini begitu tepat menggambarkan suasana hati kami kala itu. Akhirnya bayangan
acara Perpisahan yang identik dengan tangisan itupun mulai menjelma lebih
nyata.
***********************************************************
“Fatma, PKRI
lagi buka pendaftaran tuh. Daftar yuk. Mumpung lagi open recruitment. Siapa tau
bakal diterima, kan bisa buat pengalaman organisasi kita.”
“Hm, nanti dulu
ya, San. Aku masih harus pikir-pikir dulu deh sepertinya. Soalnya kita bakal
sibuk banget sama tugas-tugas kuliah semester ini. Ntar kalau kuliah jadi
terbengkalai karena organisasi gimana ? Bisa panjang urusannya. Lagian, aku
juga takut terlalu capek banyak kegiatan gitu.”
“Tiap semester
juga bakal sibuk kali, Fat. Tergantung kita memanage waktu dengan baik. Ya udah
kalau gak mau. Kamu pikir-pikir lagi saja. Ingat, PKRI bukan hanya sekedar
organisasi, tapi juga ladang dakwah sesama kita. Aku daftar duluan ya.
Assalamuaaikum.”
“Wa’alaikumsalam”.
Sepeninggal Santi, aku terdiam sembari mencerna tiap kata yang diucapkannya
tadi. Dalam hati, aku juga heran, bagaimana bisa aku berkata seperti itu.
Padahal dulu, aku juga telah bergabung dalam Organisasi Rohis disekolah. Jelas
aku memahami bagaimana kinerja kami saat itu. Sepertinya kesibukan duniawi
telah membelenggu hati ini. Segera aku beristighfar memohon ampunan-Nya.
Kini aku sudah
berstatus sebagai Mahasiswi di Universitas Riau, jurusan Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Kehidupan kampus jelas sangat berbeda
dari kehidupan sekolah dulu. Selain jauh dari orangtua, pergaulan juga lebih
beragam. Disini aku lebih dituntut untuk menyortir teman yang bisa diakrabi.
Dan salah satu teman akrabku disini adalah Santi yang juga memiliki latar
belakang sebagai aktivis dakwah sekolah dahulunya.
Memang, diawal
kuliah dulu aku masih sering merindukan suasana kekeluargaan dengan sahabat
yang kini telah tersebar ditempat yang berbeda. Namun lambat laun aku mulai
menyesuaikan diri dengan suasana individual perkuliahan ini. Pikiran untuk
bergabung bersama PKRI memang sempat menyambangiku, namun hal itu segera
tertepis oleh keadaan.
Selama ini,
memang aku merasa ada yang hilang dalam diri ini. Jiwaku sering merasa kosong
dan membutuhkan sesuatu yang aku sendiri tak yakin apa itu. Sempat terpikir
bahwa mungkin jiwa ini butuh diisi kembali dengan siraman rohani yang
belakangan memang jarang kudapatkan. Tapi semua itu segera kutampik karena aku
tetap berkeras bahwa aku masih baik-baik saja.
***********************************************************
Suatu hari aku
dikumpulkan bersama beberapa orang teman seangkatanku di Musholla. Katanya sih
untuk Asistensi atau apalah namanya. Disana juga terdapat seorang kakak senior
yang kuperkirakan akan menjadi Murabbi kami. Sebenarnya aku hadir disini dengan
alasan yang mungkin sama dengan teman-teman lainnya, yakni karena diperintahkan
dosen Agama.
Acara hari
pertama hanya sekedar perkenalan. Pada pertemuan kedua barulah aku menyadari
ternyata kegiatan ini hampir sama dengan mentoring kami dulu. Disini kami
diberikan bekal ilmu agama dan bisa sharing antarsesama. Hal ini membuatku jadi
teringat pada mereka yang jauh disana. Berkumpul seperti ini kembali membuka
memoriku tentang masa lalu dimana saat itu aku sangat menantikan datangnya hari
Jum’at untuk segera bertemu mereka.
Tapi kini ada
yang lain. Perasaan menggebu itu tak lagi kurasakan disini. Entahlah, aku tak
mengerti. Padahal dengan kegiatan yang sama, suasana yang sama, tujuan yang
sama, bagaimana bisa perasaanku begitu berbeda ? Apa yang sebenarnya yang
hilang ? Itu selalu menjadi pertanyaan dalam diri ini ketika Asistensi sedang
berlangsung.
Hari-hari
berikutnya, aku tak kunjung merasa baik. Rasanya dunia sudah begitu
mengekangku. Waktuku banyak dihabiskan untuk menyelesaikan permasalahan kampus.
Setiap hari selalu ada tugas yang menanti, ada saja hal-hal yang menuntut
konsentrasi tinggi terhadapnya. Ibadahpun rasanya begitu singkat kulakukan.
Sepertiga malam yang dulu mungkin sering kugunakan untuk berdua dengan-Nya pun
kini teralih menjadi berdua dengan tugas kuliah.
Suatu hari
perasaanku begitu tak menentu. Sesak menyelimuti diri. Resah semakin
menghantuiku. Gelisah memenuhi setiap rongga dada. Mata kuliah yang dijelaskan
dosen tak mampu lagi untuk kucerna. Aku
masih terombang-ambing kebingungan tak tau arah mana yang harus kutempuh
untuk keluar dari situasi ini. Dalam kebimbangan itu, seorang teman
mengingatkanku “Fatma, jangan lupa Asistensi di Mushola setelah Ashar ya !”.
Saat itu aku
hampir saja merutuki kebodohanku. Bisa-bisanya aku lupa bahwa hari ini
Asistensi akan dilakukan. Padahal tadinya aku berencana untuk segera pulang dan
beristirahat. Barangkali dengan istirahat perasaan aneh ini akan menghilang.
Tapi sepertinya rencana itu akan gagal total atau setidaknya tertunda
sementara.
‘Apa aku tidak perlu datang saja ya ? Toh kalau izin
sekali dua juga gak masalah kan.’ tiba-tiba pikran itu terbersit dalam otakku.
‘Tapi nanti aku akan ketinggalan materi dong.’
‘Materi kan bisa ku pinjam catatan mereka yang
datang. Rasanya lelah sekali sekarang. Mau cepat-cepat pulang, mandi, makan,
terus istirahat. Pasti menyenangkan tuh.’
‘Tapi kan.. Ya Allah, bantu hamba memilih keputusan
yang tepat.’
Begitu selesai
berdebat dengan diri sendiri tanpa menghasilkan keputusan yang pasti, aku
terpana karena tanpa sadar langkah kaki telah membawaku kedepan Musholla begitu
keluar dari ruang kuliah tadi. Seketika tubuh ini bergetar begitu mendengar
suara Azan yang dikumandangkan. ‘Inikah
jawabannya Ya Allah ?’
“Kok gak masuk
Fatma ? Yuk wudhu’ dulu. Setelah sholat baru kita Asistensi” sapaan temanku ini
tiba-tiba terdengar begitu hangat. Senyum yang menghiasi wajahnya seolah begitu
tulus dan membuat segala beban yang tadi kurasakan terangkat. Aku hanya
membalas senyumannya disertai anggukan menyetujui ajakan wudhu’nya.
Dalam sholatku,
aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Perasaanku semakin ringan disetiap
gerakannya. Kebimbangan yang tadi merasuki seolah terkikis perlahan. Usai
salam, rasanya ada energi baru yang merasuki diri ini. Aku menoleh kekiri dan
kekanan. Disana kudapati wajah-wajah teduh yang memancarkan kedamaian.
Pemandangan seperti ini lah yang telah jarang kulihat belakangan ini.
Seketika aku
sadar, beberapa minggu terakhir ini aku memang terlalu sibuk akan dunia. Bahkan
mungkin saking sibuknya, aku tak lagi memperhatikan saudara disekitarku yang
sesungguhnya selalu ada disini untuk berbagi. Barangkali bukan mereka yang
jarang terlihat, tapi aku yang mulai menarik diri dari mereka.
Saat Asistensi
berlangsung, kenyamanan yang kurasakan semakin meningkat. Tidak ada lagi rasa
ingin cepat pulang kerumah atau memikirkan hal-hal lainnya. Setelah kegiatan
berakhir, hampir saja pertahananku runtuh ketika kami bersalaman sambil
menempelkan pipi kiri dan kanan seperti biasa. Hal yang sepele seperti itu
membuatku merasa begitu dicintai oleh mereka, sama seperti yang kurasakan dulu
di masa SMA.
Aku tersadar,
selama ini bukan saudara ku yang menjauh hingga aku kesepian. Tapi aku yang
menarik diri dan berusaha keluar dari kekeluargaan itu. Bukan Asistensi atau
organisasi yang menyita waktu berhargaku. Tapi aku yang membiarkan waktu dan
dunia yang mengendalikan diri ini, bukan sebaliknya. Bukan Allah yang mencabut
nikmat ketentraman hati ini sehingga gelisah selalu menghadang. Tapi akulah
yang selama ini mulai menutup mata dari segala nikmat-Nya itu.
“Fatma, walaupun kita akan terpisah oleh jarak dan
waktu. InsyaAllah, kita akan tetap satu. Yang penting hati kita tetap terkoneksi
lewat do’a-do’a. Makanya jangan lupa untuk saling mendoakan. Oke ?”
Perkatan Zahra
terngiang ditelingaku. Astaghfirullah, seketika hatiku langsung bergetar
mengingat betapa banyak dosa yang kulakukan selama ini. Barangkali ini juga
sebagai akibat dari silaturahmi yang tidak terjaga ini. Rasanya aku begitu
merindukan sahabat sekaligus mentor seperjuanganku itu. Seandainya dia disini,
mungkin ia sudah mengingatkanku sejak lama.
Ah, sudahlah.
Yang berlalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang adalah bagaimana akan
kujalani masa mendatang dengan lebih baik. Kini hatiku telah mantap untuk
melanjutkan apa yang sebelumnya pernah terhenti. Semoga Allah meridhai jalan
ini.
***********************************************************
“Hai
orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.S Muhammad 47 : 7)
Menjemput Hidayah
Reviewed by Wirdha Listiani
on
Desember 08, 2019
Rating:
Tidak ada komentar: