Cerita Kita di Desa Bokor, suatu masa.
Postingan ini saya ambil dari Laporan Tafakur Alam Rohis Al-Fityah pada tanggal 25 Januari tahun 2015 yang lalu. Diambil hikmah kisah sejarah Desa Bokornya yaa, gaya penulisan yang masih alay mohon dimaafkan (berkilah karena malas mengedit ni, hehe).
Silahkan dinikmati, eh silahkan dibaca ..
sumber gambar : Dokumentasi Rohis Al-Fityah |
Tafakur Alam yang kami ikuti diselenggarakan oleh Rohis SMA Negeri 1 Tebing Tinggi tanggal 25 Januari tempo hari. Saat itu kami mengunjungi Desa Bokor yang terkenal sebagai Desa Wisata-nya Kabupaten Kepulauan Meranti itu. Katanya sih ini kali kedua Tafakur Alam SMA Negeri 1 Tebing Tinggi yang diadakan di Bokor. Walaupun begitu, tetap saja ini adalah pengalaman baru bagi sebagian besar anggota kelompok kami.
Perjalanan ini sedikit menegangkan, barangkali. Sebelum berangkat ke pelabuhan, kami berkumpul di depan Mushola Al-Fityah SMA Negeri 1 Tebing Tinggi terlebih dahulu. Rata-rata peserta maupun panitia berkumpul pada pukul 07.15 WIB, tapi ada juga beberapa teman yang hadir sesaat sebelum berangkat. Jumlah total Peserta yang ikut ditambah Panitia, Pembina Rohis, serta alumni Rohis yang ikut menyertai kami kurang lebih adalah 50 orang. Menurut Pak Salman sih jumlah ini sudah pas dan tepat jika dikira-kirakan dengan daya angkut kapal yang akan kami tumpangi.
Setiap peserta maupun panitia, diwajibkan mengisi daftar hadir yang disertai tanda tangan. Pada umumnya para peserta telah mengumpulkan formulirnya pada hari Sabtu, tapi ada juga beberapa yang baru menyerahkan formulir sebelum keberangkatan. Bahkan ada yang tidak memerlukan formulir sama sekali (barangkali sudah dapat 100 % izin dan kepercayaan Ortu nya kali yaa.. Hehe). Setelah melewati proses administrasi, sekitar pukul 07.30 WIB Pak Salman memberi intruksi keberangkatan kepada kami lalu memimpin doa agar perjalanan kami diberkahi oleh Allah dan bisa kembali tanpa kurang apapun.
Rute perjalanan kami dimulai dari SMA Negeri 1 Tebing Tinggi yang terletak di Jalan Pembangunan II, menuju Jalan Diponegoro, dan berakhir di Pelabuhan Camat yang terletak di Jalan Tebing-Tinggi. Ada situasi yang tidak kami pahami ketika kami harus beberapa kali berpindah tempat dari satu sudut pelabuhan ke sudut lainnya. Sepertinya ada masalah dengan lokasi melabuhnya kapal. Tapi pada akhirnya kami bisa menaiki kapal dengan cara ‘numpang lewat’ dari kapal Jelatik yang kebetulan sedang menanti jadwal keberangkatan berikutnya di sana.
Ukuran kapal lumayan besar, karena masih tersisa lowongan alias ruang kosong yang seharusnya masih bisa diisi. Bahkan meski ketika Ustadz Fauzi beserta beberapa orang lainnya yang kemudian turun di Pelabuhan Peranggas turut serta bersama kami dikapal ini. Awalnya perjalanan terasa menyenangkan karena ada beberapa teman yang mengatakan bahwa ini adalah kali pertama mereka ke Bokor. Kami mengisi perjalanan dengan berbagi cerita maupun hanya sekedar obrolan iseng belaka.
Kemudian masalah mulai terjadi ketika kapal tiba-tiba kesulitan berlabuh di Pelabuhan Peranggas. Ada yang mengatakan mesin kapal tiba-tiba rusak sehingga perlu diperbaiki. Versi lain mengatakan bahwa kapal tersangkut jaring nelayan, jadi harus dilepaskan terlebih dahulu. Entahlah, kami pun kurang pasti akan hal itu. Tapi yang jelas, kami jadi terombang-ambing di Lautan (atau Selat ?) dalam waktu yang cukup lama. Beberapa dari kami bahkan ada yang sudah mual karena terlalu lama di Kapal. Mabuk laut barangkali. Permulaan kegiatan sudah diberikan hadiah (atau ujian?) dari Allah SWT.
Biasanya tidak sampai satu jam kami sudah bisa tiba di Pelabuhan Bokor, tapi berkat insiden ini, kami baru bisa berlabuh di sana sekitar pukul 10.00 WIB. Sebenarnya dari insiden kecil ini juga bisa diambil pelajarannya. Yakni, harus selalu memeriksa kondisi mesin kapal bagi Bapak-Bapak Nahkoda, dan jangan lupa membawa kantong Kresek + Minyak Kayu Putih maupun Minyak-Minyak lainnya yang bisa meredakan rasa mual bagi para peserta. (Eh?) Keterlambatan ini juga menjadi penguji kesabaran bagi kami semua. Siapa yang ingin terombang-ambing seperti itu ? Tapi barangkali Allah sudah mengaturnya sedemikian rupa sehingga pada akhirnya ada berbagai hikmah yang bisa diambil dari kejadian ini.
Untuk naik ke Pelabuhan Bokor juga memerlukan usaha yang tak biasa, yakni kami harus memanjat melalui tangga yang telah disediakan, berhubung saat itu air laut belum pasang, barangkali. Satu persatu dari kami naik dengan bantuan beberapa teman yang telah menanti diatas dan Alhamdulilah semuanya berhasil naik dengan selamat. Begitu menginjakkan kaki di sana, mata kami langsung disuguhkan pemandangan desa yang sederhana namun memilik kesan bersih dan nyaman. Terdapat tempat peristirahatan didekat Pelabuhan yang ditata apik seperti halnya Taman yang indah.
Masyarakat nya juga ramah-ramah, terbukti lewat sapaan hangat dari mereka yang kebetulan sedang berada disana. Sapaan tersebut sebenarnya terlontar secara spontan, tapi cukup memberikan kesan layaknya mereka sedang menyambut tamu kehormatan. Rajin sedekah juga lho, karena ada banyak senyum yang mereka hadiahkan pada rombongan kami. Kondisi alam yang mendukung, kebersihan yang selalu dijaga, ditambah keramah-tamahan masyarakatnya, tak heran jika Bokor dijadikan Desa Wisata Kabupaten Kepulauan Meranti.
Kami singah di Masjid Al-Jihad yang berada tak jauh dari Pelabuhan. Disini lah acara Tafakur Alam ini secara resmi dibuka. Sebelumnya kami sempat melaksanakan Shalat Dhuha terlebih dahulu. Setelah pembukaan oleh Pembawa Acara (MC), Pak Salman memberikan Kata Sambutan dan meresmikan Pembukaan Tafakur Alam ini yang kemudian dilanjutkan dengan alunan Nasyid merdu dari Grup Nasyid Rohis SMA Negeri 1 Tebing Tinggi.
Acara selanjutnya adalah sedikit pengarahan dari Alumni Rohis, yakni Kak Musriyaldi mengenai Rohis dan Tafakur Alam. Beliau juga menceritakan pengalamannya semasa duduk dibangku SMA dulu serta memberikan materi tentang Generasi Muda Islam Masa Kini. Di sekmen ini pulalah kami dikumpulkan menjadi beberapa kelompok.
Kelompok putri diminta menamai kelompoknya dengan nama-nama Istri Nabi Muhammad S.A.W, sementara kelompok putra menamai kelompoknya dengan nama-nama Sahabat Rasulullah. Kelompok kami memilih nama ‘Aisyah’. Meskipun sempat rebutan dengan kelompok lain, akhirnya kami yang mendapatkan kesempatan menggunakan nama indah ini. Oh ya, kita belum kenalan kan. Kami kelompok Aisyah terdiri dari 12 orang siswi yakni :
Melisa Dwi Anggraini (XII IPA 4)
Wirdha Listiani (XII IPA 1)
Mardian Azura (XII IPA 2)
Siti Ardiyanti (X IPA 1)
Nisha Novita (X IPA 5)
Nur Aisyah (X IPA 5)
Putri Anzelita (X IPA 4)
Putri Juanda Sari (XI IPS 1)
Sri Lestari
Mui Yani
Hidayah
Misi pertama yang harus kami lakukan adalah menciptakan yel-yel kelompok yang terbaik. Aturannya adalah kami harus menciptakan sebuah yel-yel yang bersifat umum, dan satu lagi yang berbau Islami. Saat ini lah kebersamaan dan kekompakan kami mulai dibangun. Masing-masing dari kami memberikan ide dan pendapat mengenai lagu apa yang akan kami jadikan nada yel-yel. Dari lagu yang syahdu, semangat, galau, bahkan lagu dangdut sekalipun, semua menjadi daftar tunggu nada pilihan kami. Hal ini lah yang membuat kami acap kali ketawa-tiwi sendiri mendengar yel-yel lucu itu.
Setelah diskusi panjang, akhirnya kamipun memutuskan menggunakan lagu Assalamualaikum dari Opick untuk yang Islami, dan untuk yang bersifat umum kami menggunakan nada lagu Pelangi dan Balonku. Belum lagi menentukan liriknya, kami sudah merasa geli dan kembali tertawa. Bisa dikatakan, kami adalah kelompok paling bersemangat untuk yel-yel ini (atau terheboh ? hehe). Keadaan tak jauh berbeda juga melanda ketika penciptaan lirik. Meski terkesan lebay, yang penting kami kompak dan happy. Aisyah ? | “OKE”
Sekitar pukul 11, waktu penciptaan yel-yel pun telah usai. Kami dipersilahkan mengeluarkan bekal makan siang yang telah kami bawa sebelumnya. Sembari duduk di teras Masjid, kami memakan bekal bersama-sama, tentu saja kami tak hanya berkumpul sekelompok melainkan bersama anggota kelompok lain juga. Sungguh, kebersamaan yang mudah-mudahan takkan hilang seiring berjalannya waktu ketika kami kembali ke Selatpanjang nanti. Mereka yang telah selesai makan kemudian bersiap-siap menyambut tibanya waktu Dzuhur untuk sholat berjama’ah.
Kegiatan selanjutnya adalah outbond yang dilaksanakan di alam terbuka. Panitia membentuk 4 pos yang harus dilewati setiap kelompok. Di pos pertama, seluruh kelompok dikumpulkan dan diberi waktu menyanyikan yel-yel nya. Setelah itu, Sarwan dan M. Azuhri yang memegang kendali pos ini memberikan misi pertama kami, yakni menyelesaikan permainan uji konsentrasi. Permainan 3, 6, 9 tepuk tangan itu lho. Permainan ini memang kelihatan mudah dan sepele, tapi angka setelah 10 ternyata berhasil membuat bingung dan menjebak beberapa peserta.
Selesai melaksanakan misi pertama, kami melanjutkan perjalanan ke pos ketiga. Tidak, bukan kami terlalu spesial hingga bisa langsung meloncat ke pos ketiga ini. Hal ini dikarenakan pos kedua yang masih memiliki antrian kelompok selanjutnya sehingga kami di intruksikan untuk memasuki pos ketiga terlebih dahulu. Pos ini dijaga oleh Yoga Pratama dan Kurnia Zen Miza. Misi disini sebenarnya tidak akan terlalu sulit jika kami diberi kesempatan melihat Juz ‘Amma barang sejenak. Kami diberi beberapa gulungan kertas yang harus dipilih salah satunya.
Didalam gulungan ini tertulis 2 ayat yang mana harus kami tebak terdapat di Surah apa dan ayat keberapa. Dan sedihnya, kami justru mendapatkan penggalan ayat yang terdapat dalam Surah Al-‘Alaq. Nama Surah sih sudah bisa dijawab, jumlah ayat juga bisa terjawab secara tepat. Tapi, entah apa yang melanda saat itu, beberapa orang yang biasanya bisa melafalkan Surah ini sebelumnya secara tepat justru tiba-tiba menjadi ragu akan kelanjutan ayat. Beberapa kali kami membacanya bersama-sama, tapi hasilnya tetap sama. Beberapa ayat justru malah bersambung menjadi ayat Surah yang lain.
Akhirnya, sebagai konsekuensi dari kegagalan ini, kamipun rela menjalani hukuman yang telah kami sanggupi sebelumnya. Kemudian kami melanjutkan misi ke pos kedua. Di pos ini, M. Ikhsan R. dan Desra Rizki R. memberikan misi pesan berantai yang diambil dari arti salah satu Ayat Al-Qur’an ataupun Hadist Rasululah. Sayangnya pesan itu semakin berkurang hingga ke anggota kami yang berada paling depan. Misi selanjutnya adalah menjawab sebuah teka-teki. “Adi pergi kepasar bersama ibu untuk membeli ikan. Pertanyaannya, siapa ayah Adi ?” | Jawabannya “Suami ibu” (lucu ? Hahaha. Hm)
Setelah berhasil menyelesaikan misi ini, kami melanjutkan ke pos terakhir yang dikomandoi Deni Dermawan. Di pos ini, kami diberi pengarahan mengenai misi terakhir yang harus kami lakukan, yakni mencari informasi tentang sejarah Bokor, Masjid Al-Jihad, serta tanaman yang sekiranya tidak akan ditemukan di Selatpanjang sebagai oleh-oleh, barangkali. Kami diberi waktu sampai pukul 15.00 WIB, jadi kami hanya memiliki sekitar 1 jam saja untuk mencari informasi ini.
Untuk mencari informasi mengenai sejarah Bokor sendiri memerlukan waktu yang cukup lama. Dari beberapa narasumber yang kami wawancarai kebanyakan tidak mau memberi info yang lengkap. Bukan karena mereka pelit, justru mereka menunjukkan kecintaan mereka terhadap desa ini. Sikap hati-hati dalam menuturkan setiap informasi ini menunjukkan bahwa mereka tak ingin sembarangan menceritakan sejarah. Diakhir kalimat nya hampir selalu diimbuhkan peryataan bahwa orang-orang tualah yang lebih memahaminya.
Sejarah Masjid Al-Jihad dapat kami gali dari seorang Narasumber bernama Bu Hj. An-Nizzam. Menurut pernyataan beliau yang memang asli penduduk setempat, Masjid ini dibangun sekitar 35 tahun yang lalu (1960-an). Masjid ini dibangun secara gotong royong oleh masyarakat setempat yang saat itu dipimpin oleh Abdullah Tonil selaku Kepala Desa. Saat itu, masyarakat mengumpulkan dana semacam kas maupun iuran yang dikumpulkan seminggu sekali yang mana digunakan untuk membeli bahan bangunan dan kebutuhan pembangunan Masjid lainnya.
Sejak awal dibangun, Masjid ini memang dinamai Masjid Al-Jihad. Jadi tidak pernah dilakukan pergantian nama sebelumnya. Dasar penamaan Masjid sendiri tidak diketahui secara pasti, tapi dari penjelasan Bu Nizzam dapat kami pahami memiliki keterkaitan dengan proses pembangunannya yang dilakukan secara bersama-sama. Mendirikan rumah Allah artinya telah membantu Agama Allah agar segala aktivitas Keagamaan dan rutinitas ibadah bisa berjalan lancar. Bukankah hal ini termasuk bagian dari Jihad ? :)
Ada sebuah kentungan yang digantung disisi kanan Masjid (dekat dengan tempat berwudhu). Usia kentungan ini sama dengan usia Masjid, karena kentungan ini sendiri telah ada sejak pertama kali Masjid ini dibangun. Di bulan Ramadhan, kentungan ini berfungsi sebagai penanda waktu berbuka telah tiba. Sedangkan dihari-hari biasa seperti saat ini, kentungan ini biasanya digunakan sebagai penanda datangnya waktu Maghrib. Tidak diketahui oleh narasumber tentang jenis kayu yang digunakan untuk membuat kentungan ini.
Dan ada satu lagi benda lainnya yang juga menjadi kelengkapan Masjid ini, yakni sebuah Beduk. Beduk ini dibuat sekitar 12 tahun yang lalu oleh seorang pria bernama Amri. Beduk ini diketahui terbuat dari kayu pohon Cempedak. Sementara daerah yang dipukul untuk membunyikannya itu terbuat dari kulit Sapi. Beduk ini asli dibuat oleh putra Desa Bokor yang masih dijaga dan dirawat dengan baik hingga kini. Akan tetapi, saat kami disana, kami tak melihat adanya Beduk. Barangkali disimpan disuatu tempat, tapi yang jelas masih digunakan hingga kini.
Kami juga sempat menanyakan tentang tumbuhan khas di Bokor yang kira-kira tidak ditemukan di Selatpanjang. Sebenarnya ada, dan dijamin tidak akan ditemui (setidaknya sulit ditemui) di Selatpanjang, yakni sebuah bunga unik yang tampangnya langsung dibeli dari Bandung ! Tapi sayangnya, bunga ini hanya ada satu dirumah Bu Nizzam, jadi kami tidak bisa menerima tawaran Beliau untuk membongkar tanaman ini. Betapa baiknya Ibu ini, tapi tentu saja kami tak cukup tega untuk menerimanya. Secara, cuma ada satu, mana bibitnya dari jauh lagi.
Disela-sela perbincangan kami, ada beberapa tetangga Bu Nizzam yang melihat keramaian ini lalu bertanya kepada Beliau. Dan ternyata, diantara mereka ada Pak Abdul Muis (Pak Jamal). Bu Nizzam pun langsung menyarankan kami agar berbincang lebih lanjut dengan Beliau. Benar saja, Beliau tahu banyak tentang Desa Bokor ini yang mana kalau diceritakan segala penuturan beliau tak kan selesai kisah ini.
Ternyata lagi, kata Bokor ini merujuk pada suatu benda berbentuk bulat atau oval. Sebagian meyakini bokor bermakna piring, sebagian lagi meyakini bahwa kata bokor merujuk pada sebuah mangkuk. Nah, kisah mangkuk iniah yang diceritakan oleh Pak Jamal kepada kami. Konon, dulunya terdapat sebuah kerajaan yang berdiri disekitar wilayah Bokor saat ini. Raja tersebut memiliki seorang anak yang mana suatu hari dimandikan di tepian sungai oleh pelayannya.
sumber gambar : http://bokor.desa.id/profil-desa-2014/ |
Entah mengapa, saat memandikan anak ini, mangkuk maupun gayung yang digunakan saat itu justru tercebur kedalam sungai. Sejak saat itulah sungai ini dinamakan Sungai Bokor, dan daerah sekitar sungaipun kemudian dikenal dengan Pulau Bokor. Salah seorang bapak-bapak yang duduk disana menambahkan bahwa mangkuk yang dipercayai sebagai bokor ini dulunya ada dan diletakkan di Rumah Payung. Akan tetapi keberadaannya saat ini belum diketahui secara pasti apakah disimpan pemerintah ataupun telah rusak dimakan usia. Kriterianya seperti mangkuk kerajaan yang biasa digunakan dalam cerita kerajaan dan berwarna keemasan.
Pak Jamal juga memberitahukan kami beberapa nama tumbuhan khas Bokor yang kedengaran aneh bagi kami. Menurut Beliau, rata-rata tumbuhan itu sudah langka alias sulit ditemui saat ini. Setelah cukup lama berbincang, kemudian kami pamit pada mereka semua dan melanjutkan pencarian tanaman ‘aneh’ itu lagi. Sampai akhirnya kami melihat buah unik.
Bentuknya seperti jeruk, tapi ukurannya sangat kecil, dan tumbuhan ini justru lebih mirip tanaman Bunga-Bungaan pada umumnya. Terdapat daun yang seolah-olah membungkus batang kecilnya sebagai tempat melekatnya buah. Lagi-lagi masalahnya karena hanya ada satu tanaman, jadi kami tidak bisa meminta, tentu saja. Tapi menurut si pemilik, buahnya bisa disemai dan ditanam menjadi tanaman baru nantinya. Jadi, kami meminta dan membawa buahnya saja.
Setelah mengucapkan terima kasih pada pemilik (-yang belum sempat berkenalan-), kami pamit dan bergegas kembali ke Masjid tepat pada waktunya. Sembari menunggu waktu Ashar tiba, kami berbagi cerita tentang keluhan maupun masalah yang kami hadapi selama pencarian informasi ini dan menunjukkan tanaman unik yang ditemui oleh masing-masing kelompok. Dan tugas menceritakan pengalaman ini juga diberitahukan ketika itu. Acara pun ditutup secara resmi oleh Pak Salman yang kemudian dilanjutkan dengan Sholat Ashar berjama’ah.
Selesai sudah kegiatan Tafakur Alam di Desa Bokor ini. Kami bergegas kembali ke Pelabuhan setelah memastikan meninggalkan Majid dalam kondisi seperti semula, bersih dan rapi. Ditengah perjalanan menuju Pelabuhan kami menyempatkan diri untuk mengabadikan moment ini dengan berfoto di beberapa tempat yang dikira cocok sebagai latarnya. Setelah itu kami kembali menaiki kapal yang kemudian membawa kami kembali ke Selatpanjang.
Cerita Kita di Desa Bokor, suatu masa.
Reviewed by Wirdha Listiani
on
Januari 26, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: