Suatu hari pernah kita melihat satu atau dua orang saudara kita yang masih terlena dalam jerumus dosa. Lalu apa yang seketika terbesit dalam sepersekian detik pemikiran diri dan hati? Adakah kita seketika menginginkan keselamatan baginya atau justru tergoda untuk melemparkan hujatan tanpa tahu apa latarbelakang mereka terjerat disana?
Ya, barangkali pilihan kedua adalah pilihan termudah dan paling kerap
muncul di benak kita. Kita lebih mudah mendefinisikan keburukan dibandingkan
mencoba menggali lebih dalam sebab keburukan itu menjelma. Kita lebih mudah
melontarkan penghakiman dibandingkan mencoba memberikan bantuan atau sekedar
menyampaikan ajakan.
Entah sudah berapa kali guru-guru kita menyampaikan bahwa kita adalah
makhluk sosial yang tak ‘kan bisa hidup sendiri dan senantiasa memerlukan
bantuan orang lain dalam hidup ini. Lalu mengapa kita masih belum tergerak
untuk menawarkannya? Entah sudah berapa kali ustadz-ustdzah kita mengingatkan
kita betapa manusia ini sejatinya sama, sama-sama mudah tergoda dan teramat
mudah khilaf dirinya. Lalu mengapa kita masih saja merasa lebih mulia dan memandang
rendah pada mereka yang disana?
“Hampirilah, jangan dihakimi,” pesan salah seorang ulama. Dulu, entah
pada fase yang masih kerap dikenang atau sudah menjadi bagian dari fase hidup
yang mulai dibuang, kita juga pernah melakukan kesalahan, bukan? Bukankah kita
juga telah sama-sama mengecap pahitnya dosa, sengsaranya kerena telah bermaksiat
dihadapan Sang Pencipta? Lalu ada tangan-tangan tak kasat mata yang senantiasa
menarik kita dari lembah kegelapan dunia melalui lisan-lisan penuh nasihat
kebaikan, juga do’a-do’a tersembunyi yang barangkali juga kerap diangitkan
hingga kini kita dapat berdiri tegak menatap dunia dengan tuntunan cahaya.
Kini, tatkala manis kebaikan dan nikmat persaudaraan itu telah kita
rasakan, tidakkah kita ingin membaginya pada saudara kita di sudut-sudut jalan
sana? Tidakkah kita teringin menjadi penerus bala bantuan kebaikan seperti
mereka yang pernah hadir dan menyentuh dalam titik-titik terendah hidup
kita? Tidakkah kita ingin merangkul
mereka, mengajaknya sama-sama berdo’a dan memperbaiki diri untuk menjadi hamba
terbaik dihadapan-Nya?
Kita tak pernah tahu do’a siapa yang paling keras mengguncang langit
diatas. Kita juga tak pernah tahu entah siapa yang akan kembali menghadap Penciptanya
terlebih dahulu, juga siapa yang akan menginjakkan kakinya ke syurga dan siapa
yang akan harap-harap cemas menanti bantuan dari saudaranya kelak di neraka.
Jika kita tidak membersamai di dunia, akankah kita mengharap sua kelak di
akhirat sana? Maka lebih baik menghampiri dan sama-sama memperbaiki diri ini,
bukan?
A Note For Myself – Wirdha Listiani
Tidak ada komentar: