Sebagai makhluk sosial, kita sepakat bahwa manusia saling memerlukan satu sama lainnya untuk bisa menjalankan aktivitas keseharian. Tidak ada satupun manusia yang bisa hidup sendiri dan tidak memerlukan interaksi kepada yang lain. Dalam persinggungan kehidupan inilah kemudian lahir dan bermunculan aturan dan anjuran untuk saling berbuat kebaikan untuk sesama manusia.
Kita tengah bergelut dengan dunia yang penuh ketidakpastian dan jaminan tentang batas masa, peluang tahta atau juga nominal harta. Sesuatu yang hari ini masih dimiliki diri, dalam genggaman insani, masih dinikmati oleh pribadi, bisa jadi akan segera menghilang pada keesokan hari. Sungguh nikmat-nikmat yang hari ini masih diberikan Ilahi, juga ketenangan hidup yang hari ini juga masih lagi dicicipi itu sangat pantas bahkan wajib untuk senantiasa disyukuri.
Tiap-tiap nikmat itu memiliki batas yang telah diumumkan dan tertulis pada lembar kisah perjanjian kehidupan sebelum kita dilahirkan. Hanya saja ketika kita telah mulai melihat kemilau dunia, segala janji yang tadinya telah disepakati tadi menjadi sirna dari ingatan kita. Lalu jika kita hidup dalam ketidakpastian batas dan tenggat nikmat yang dijanjikan, lantas mengapa kita masih tak mau jua untuk bersegera menunaikan kewajiban yang sebelumnya telah ditunda?
Apakah gerangan yang telah mencegah diri untuk bersegera melakukan kebaikan untuk sesama insan? Sudah cukupkah tabungan amal diri sehingga seolah mendapat legitimasi untuk berleha dan menunda-nunda segala? Ah, kita lupa. Kita lupa bahwasanya kita adalah seorang manusia yang memang kerap kali hanya tergerak untuk melakukan apa yang disukainya saja. Meskipun bisa jadi apa yang disukai bukanlah hal yang terbaik bagi diri, pun juga barangkali tidak mendatangkan kebaikan dan kebermanfaatan bagi sesama kita.
Lalu dipersimpangan kebimbangan itu kita kemudian dipertemukan dengan sebaik aturan dan pedoman kehidupan. Sebuah tuntunan yang menjadi semacam navigasi kita untuk mengarungi samudera kehidupan. Termasuk didalamnya kabar-kabar bahagia dari Allah Yang Maha Esa juga ancaman yang nyata bagi kita yang masih kerap menunda kebaikan diatas masa yang masih juga tak pasti dimana batasnya. Masihkah ia kita jadikan pedoman dan landasan dalam menjalankan kehidupan?
A Note For My Self – Wirdha Listiani
Tidak ada komentar: